HUBUNGAN AGAMA DAN MASYARAKAT
Kaitan
agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi
penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang ati dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan
maut menimbulkan relegi dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman
agama para tasauf. Bukti-bukti itu sampai pada
pendapat bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan
ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu
dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan
masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan
sosial dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh dengan hidup,
menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada hal-hal yang
sebaiknya dan seharusnya dilakukan. Contoh
kasus akibat tidak terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan
disorganisasi sosial di mana bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk.
Hal ini, pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok
lama di mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi
hilang. Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap
nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan
makna bagi kehidupan kelompok.
1.
Pengertian Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta
lingkungannya. Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang
berarti "tradisi". Kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang
mengikat dirinya kepada Tuhan. Émile Durkheim mengatakan
bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan
praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama
semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui
rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
2.
Fungsi Agama
Ada
tiga aspek penting yang selalu dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama
dalam masyarakat, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga
aspek itu merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat
diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan sejauh mana fungsi
lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan
adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama dapat mempertahankan keseimbangan
pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan tersebut timbul karena sejak dulu hingga
sekarang, agama masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah
fungsi. Manusia yang berbudaya, menganut
berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku,
bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan
dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang
bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori
fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan
sosial, perasaan agama, sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga
sosial yang menjawab kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai
duniawi, tapi tidak menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi
transdental. Aksioma teori di atas adalah,
segala sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori
tersebut juga memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman”
sebagai dasar dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi,
Pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi
keamanan dan kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri.
Kedua, kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi
hidupnya adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara
kondisi lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga,
manusia harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari
berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi,
seorang fungsionalis memandang agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk
mengatasi diri dari ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama
dipandang sebagai mekanisme penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur
tersebut.
·
Fungsi agama terhadap pemeliharaan
masyarakat ialah memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha
sistem kredit dalam masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu
sistem ekonomi bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa
mereka akan memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk
membayar. Dalam hal ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan
kewajiban sosial dan memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi
adat-istiadat.
·
Fungsi agama dalam pengukuhan
nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka norma
pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral itu mempunyai kekuatan
memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat duniawi,
supramanusiawi, dan ukhrowi.
·
Fungsi agama di sosial adalah fungsi
penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara
anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial
yang mempersatukan mereka.
·
Fungsi agama sebagai sosialisasi
individu adalah, saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan
suatu sistem nilai sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam
masyarakat. Agama juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan
kepribadiannya. Orang tua tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi”
anak-anaknya, seperti pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk
memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai
tujuan tersebut harus beribadah secara teratur dan kontinu.
Masalah
fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Menurut
Roland Robertson (1984), dimensikomitmen agama diklasifikasikan menjadi :
v
Dimensi keyakinan
mengandug perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran
tertentu.
v
Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan
komitmen agama secra nyata. Ini menyangkut hal yang berkaitan dengan
seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, perbuatan mulia,
berbakti tidak bersifat formal, tidak bersifat publik dan relatif spontan.
v
Dimensi pengalaman
memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu
orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang
langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan dengan
suatu perantara yang supernatural meskipun dalam waktu yang singkat.
v
Dimensi pengetahuan
dikaitkan dengan perkiraan bahwa orang-orang yang bersikap religius akan
memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan,
kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
v
Dimensi konsekuensi
dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan
citra pribadinya.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi paling penting bagi agama.
Akibatnya adalah masyarakat makin terbiasa menggunakan metode empiris
berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalh kemanusiaan,
sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas dan sering kali dengan
pengorbanan lingkungan yang sakral. Menurut Roland Robertson, watak masyarakat
sekular tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya,
sediktnya peranan dalam pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan-kebiasaan
agama.
Umumnya,
Kecenderungan sekularisasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan
bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Hal itu menimbulkan pertanyaan apakahan masyarakat sekuler
mampu mempertahankan ketertiban umum secara efektif tanpa adanya kekerasan
institusional apabila pengaruh agama sudah berkurang.
3. Pelembagaan Agama
Agama
sangat universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak
memahami agama, maka akan sulit memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui
dalam memahami lembaga agama adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan
bentuknya serta fungsi dan struktur dari agama. Dimensi
ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat
diterima sebagai dalil atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi
itu tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut
Elizabeth K. Nottingham (1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat
mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan keseluruhannya secara
utuh.
a.
Masyarakat yang Terbelakang
dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota
masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu, keanggotaan mereka dalam
masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam
kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
I.
Agama memasukkan pengaruhnya
yang sakral ke dalam sistem masyarakat secara mutlak.
II.
Nilai agama sering
meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan dalam masyarakat dan agama
menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan masyarakat secra keseluruhan
yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.
Mayarakat-masyarakat
Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya
tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan
kepada sistem nilai dalam tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang
sakral dan yang sekular masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi
dengan upacara-upacara tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan
sempurna terhadap aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan
terhadap adat-istiadat. Pendekatan rasional
terhadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman
pada tingkah laku yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang
baik. Karena adlam tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan
bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar
jangkauan manusia (transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat,
dan hal ini adalah keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang
sifatnya tidak rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama
melalui wahyu atau kitab sucinya memberikan petunjuk kepada manusia untuk
memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu selamat di dunia dan akhirat. Dalam
perjuangannya, tentu tidak boleh lalai. Untuk kepentingan tersebut, perlu
jaminan yang memberikan rasa aman bagi pemeluknya. Maka agama masuk dalam
sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu
aspek kehiduapan semua kelompok sosial, merupakan fenomena yang menyebar mulai
dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa
hal penting bersifat keagamaan. Adanya
organisasi keagamaan, akan meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi
fungsi,juga memberikan kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman
tokoh agama yang merupakan pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk
perkumpulan keagamaan yang akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
Pengunduran diri atau kematian figure kharismatik akan melahirkan krisis
kesinambungan. Analisis yang perlu adalah mencoba memasukkan struktur dan
pengalaman agama, sebab pengalaman agama, apabila dibicarakan, akan terbatas
pada orang yang mengalaminya. Hal yang penting untuk dipelajari adalah memahami
“wahyu” atau kitab suci, sebab lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi
dari pengalaman ajaran wahyunya. Lembaga
keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan
keyakinan-keyakinan, dan tampil pula sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya
pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga
ibadah haji dimulai dari terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting
seperti Adam a.s, Ibrahim a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah
Masjidil-Haram, Mas’a, Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan
symbol penting; ada peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan
sebagainya. Adam dan Hawa dalam keadaan
terpisah, kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya
diri sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan Adam untuk ibadah
haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di suatu tempat
(Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah diusir dari
surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf (singgah).
Nama
nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama
Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu peristiwa Allah memerintahkan Jibril
membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail a.s putranya yang masih kecil ke
Makkah dari Palestina. Di suatu tempat, Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT
supaya meninggalkan istri dan putranya. Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu
saja Siti Hajar menjadi khawatir dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air
ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali. Setelah
itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur
air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak
tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa. Siti Hajar merupak lambang yang
bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan fisik dan meniadakan diri tenggelam
ke dalam samudera cinta.
Kurban
dikaitkan resmi dengan ibadah haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah
rohani Ibrahim a.s yang diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya
Ismail a.s, untuk menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan
dilaksanakan, syetan sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan
perintah Allah tersebut. Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah
suara syetan itu berasal. Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan
ibadah haji diwajibkan melempar jumrah (batu). Sewaktu
Ismail akan disembelih oleh Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan
seekor gibas (domba) jantan. Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan
pergi kesana. Barang siapa yang kafir (terhadap kewajiban haji), maka
bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S
3:97).
Jadi,
kewajiban tersebut, esensinya adalah evolusi manusia menuju Allah dengan
pengalaman agama yang penting. Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan
Adam”, “sejarah”, “keesaan”, “ideology islam”, dan “ummah”. Organisasi keagamaan yang tumbuh secara khusus, bermula
dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi keagamaan yang
terlembaga. Muhammadiyah, sebuah organisasi
sosial Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan
pemikiran Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi
inspirasi kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah.
Salah
satu mottonya adalah, Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum”
mengajak pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil
munkar) Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah
akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan
agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
1.
Pengertian Masyarakat
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society)
adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi
tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
"masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak.
Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain).
Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup
bersama dalam satu komunitas yang teratur. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani,
sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki
pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan
tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan
cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut
masyarakat peradaban.
Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok masyarakat yang
terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur
politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapat
masyarakat band, suku, chiefdom,
dan masyarakat negara.
Kata society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang
lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial.
Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya
mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.
2. Masyarakat Transisi
1.
Pengertian Masyarakat Transisi
Masyarakat transisi ialah masyarakat yang mengalami perubahan dari suattu
masyarakat ke masyarakat yang lainnya. Misalnya masyarakat pedesaan yang
mengalami transisi ke arah kebiasaan kota, yaitu pergeseran tenaga kerja dari
pertanian, dan mulai masuk ke sektor industri.
2.
Ciri-Ciri Masyarakat Transisi Ciri-ciri
masyarakat transisi :
a.
Adanya pergeseran dalam bidang,
misalnya pekerjaan, seperti pergeseran dari tenaga kerja pertanian ke sektor
industri
b.
Adanya pergeseran pada tingkat
pendidikan. Di mana sebelumnya tingkat pendidikan rendah, tetapi menjadi
sekrang mempunya tingkat pendidikan yang meningkat.
c.
Mengalami perubahan ke arah kemajuan
d.
Masyarakat sudah mulai terbuka
dengan perubahan dan kemajuan jaman.
e.
Tingkat mobilitas masyarakat tinggi.
f.
Biasanya terjadi pada masyarakat
yang sudah memiliki akses ke kota misalnya jalan raya.
DAFTAR PUSAKA
Ø
Haryawantiyoko.Katuuk,
Neltje F.MKDU Ilmu Sosial Dasar.1996.Jakarta:Penerbit Gunadarma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar